Cerpen berjudul Sayup Tifa Mengepung Humia
Sayup Tifa Mengepung Humia
Kelak setelah dimiliki Bone, Waita akan menempati humia baru. Tidak lagi bersama Mama Aname. Waita akan menjadi mama baru di humia barunya, seperti seekor cendrawasih membuat sarang baru di dahang laingliu. Bone menegakkan humia dengan tiang utama dari batang bohon soang yang berbulan-bulan direndam dalam aliran sungai warsor. Deras sungai warsor akan menguatkan batang soang. Waita akan segera dinikahkan di depan para tetua dan dukun Hobone, kemudian menuju Soroani, dusun Bone.
Mama Aname telah menerima banyak mas kawin dan harta adat dari Bone; lima ekor wam, tiga tali ijebasik, lima buah wanggokme yang harus diasah oleh mempelai laki-laki, dan tiga ikat ebekanem. Mas kawin dan harta adat begitu besar dirasa sepadan dengan Waita, penari hunuke paling sintal di Hobone. Betisnya sepenuh paruh kasuari, lambang kebanggaan orang-orang Hobone. Dadanya ranum, kencang, dan tidak terlalu besar. Yang lebih menjadikan Waita harta berharga adalah beberapa hari sebelum Bone melamar, Waita melakukan upacara muruwal bagi perempuan Hobone. Upacara pengenalan tugas perempuan, setelah darah kali pertama menetes dari selangkangan. Darah itu kelak akan menandakan ketangguhan perempuan Hobone. Yang siap membahagiakan suami, memelihara babi dan kebun sagu, serta melahirkan banyak anak lelaki.
Rangkaian Peristiwa: “Mama, apa perempuan tak boleh menikah dengan lelaki yang dicintai?” tanya Waita kepada Mama Aname yang sedang mewarnai tubuh Waita. Aroma babi bakar masuk ke dalam humia mereka.
“Tentu boleh, Waita.”
“Apa Waita bisa menolak pernikahan bila tidak suka dengan calon suami?”
Mama Aname terdiam. Tangannya yang belepotan cairan kapur dan jelaga pembakaan kayu kasuari berhenti. “Kamu sudah menjadi yomine, Waita.”
Waita diharapkan mampu meredam konflik antara Hobone dan Soroani. Bibit permusuhan sudah lama terperam. Hanya lantaran dua dusun itu berbeda nasib. Hobone yang berada di soli, daerah lebih tinggi dan lebih subur. Tidak pernah merasakan kelaparan, betatas dan ubi tersedia sepanjang tahun. Adapun Soroani berada lebih bawah, olobok, yang tidak sesubur Hobone.
Permusuhan itu kembali tumbuh, ketika suatu hari seorang perempuan Soroani tertimpa batang sagu yang dirobohkan seorang laki-laki Hobone. Kepalanya pecah dan mati di tempat. Padahal sudah terpasang seiye, tanda larangan untuk melewati lahan orang Hobone karena sedang masa penebangan pohon sagu. Kelalaian perempuan itu membangkitkan amarah yang terperam di dada-dada orang Soroani. Perang tak terhindarkan. Terjadilah saling serang. Busur dan panah beracun, kapak, dan parang beterbangan di tengah rimbun. Setiap hari banyak lelaki Hobone dan Soroani mati. Banyak nyawa terbawa ke langit, dimuliakan, mati di medan perang bagi laki-laki adalah kebanggaan.
“Waita, Bone sudah menghendakimu. Ini untuk mereda peperangan dan sudah jadi kesepakatan para dukun di rumah yowi.”
“Apa Waita harus ditukar dengan perdamaian?”
“Lebih baik membuat persaudaraan daripada mencipta permusuhan, Waita. Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende. Ingat itu, Waita!” Mama Aname bersikeras.
“Mama, tapi Waita tidak pernah tahu apa yang perempuan kerjakan di Soroani.”
“Suamimu dan Mama Ibo akan mengajarimu menjadi perempuan Soroani.”
Mata Waita mengerjap-ngerjap. Baru beberapa hari lalu dia merasakan perayaan menjadi wanita seutuhnya. Waita masih bergantung pada Mama Aname dan sekarang dia harus bersiap untuk dibawa Bone ke humia baru di Soroani. Seperti seekor burung bermigrasi dari sarang satu ke sarang baru, bila telur-telurnya sudah menetaskan riuh kasuari baru.
Setiap memikirkan aneka hal baru yang akan mengubahnya, ada keganjilan yang tumbuh di kepalanya. Waita mengingat bagaimana sosok Ewoyop. Sosok lelaki Hobone yang memainkan tifa begitu merdu.
Kayu-kayu kasuari dibelah dengan kapak. Kayu-kayu itu akan dibakar dan menghasilkan bara api konstan. Anak-anak kecil laki-laki perempuan menyunggi bebatuan yang diambil dari sungai. Beberapa laki-laki memanggul babi di pundak. Para mama membawa betatas dan buah pandan merah di dalam tas hakone yang dikaitkan di kepala mereka. Beberapa masih digelatuti balita di bagian dada dan menggandeng seorang lagi. Semua wajah begitu ceria.
Tetua adat dan para dukun di rumah yowimemutuskan akan mengadakan upacara persembahan untuk alam di tengah Hobone, di sebuah tanah lapang yang bersih dari semak belukar. Beberapa hari lalu longsor mengubur empat desa di lereng gunung. Hobone diselamatkan. Sebagai ucap syukur upacara persembahan digelar, banyak tamu diundang, tari-tarian dan musik dipentaskan.
“Waita, kau menari hari ini?” tanya seorang mama, bibirnya merah karena sirih. Seorang bayi, mungkin lima bulan, tidak hendak lepas dari puting kanannya.
“Ya, Mama,” jawab Waita. Mukanya sedang dirias dengan dominan hitam-putih.
Keriuhan merasuki sela-sela pohon sagu sekitar Hobone. Lubang untuk tungku sudah selesai digali. Beberapa laki-laki gegas membuat api, dari seutas sumbu yang digesek dengan batu. Kayu kasuari kering diletakkan di atasnya, lalu batu dipanaskan hingga berganti warna putih. Setelah itu batu dipindahkan dengan batang kayu yang dibelah tengah menjadi penjempit ke dalam tungku. Di sanalah babi, betatas, umbi-umbian, dan aneka sayur siap dibakar.
Laki-laki menunggu di sekeliling tungku sambil mengisap pali, sebatang koteka mengacung hingga dada. Muncul gemerincing bunyi akibat gesekan ujung koteka dengan kalung para lelaki.
Waita bersiap menari. Para pemusik sudah siap di ujung perhelatan. Di saat itulah Waita menemukan sosok lelaki yang begitu damai memetik tifa. Ewoyop tidak ubahnya lelaki Hobone lain, tapi tatapan matanya menyiratkan binar berbeda. Waita harus menari. Diiringi musik Ewoyop dan bebunyian dari mulut lelaki Hobone. Waita mengagumi bagaimana Ewoyop memukul-mukul tifa secara konstan. Terutama betis Ewoyop tampak begitu kukuh saat melompat-lompat mengatur tempo nyanyian para mama dan gerakan penari hukune.
Alam Hobone mengajarkan mata laki-laki bisa menembus segala hal, setajam ujung tombak saat berburu rusa di tengah hutan. Adapun mata perempuan harus merunduk tak berani saling tumpu. Mata perempuan hanya untuk mengurus betatas, ladang sagu, pakan babi, dan menyusui para bayi. Tidak lebih dari itu. diam-diam Waita menerawangkan mata hingga dua mata Ewoyop begitu berani merasuk ke tubuhnya.
Sebagaimana kehidupan lereng gunung mengepung Hobone yang tumbuh tanpa komando, ada perasaan naluriah manusia yang diam-diam tumbuh di dada Waita. Isyarat itu makin kentara ketika tiba-tiba Ewoyop mengirim seikat betatas dan ubi jalar kepada Waita. Di Hobone jarang terlihat lelaki dan perempuan berbicara. Mereka ragu. Namun keduanya meyakini ada hal istimewa yang mereka rahasiakan. Hanya Waita dan Ewoyop yang tahu, yang mendekap begitu rahasia begitu pribadi.
Namun perempuan Hobone tak punya kuasa atas tubuhnya. Tetua adat dan para dukun rumah yowi memutuskan segalanya. Bahwa Waita akan dinikahkan dengan Bone untuk meredam konflik antara dusun atas dan dusun bawah.
“Cantik sekali kamu, Waita.”
Waita membalas dengan senyuman hambar. Aneka riasan dan perhiasan dari kerang tertempel di tubuhnya. Bulu cenderawasih dan kasuari tergantung di kepala. Sejak pagi Waita sudah melakukan prosesi adat. Mandi di sungai untuk melunturkan semua kotoran. Kulit hitamnya mengilat tertimpa sinar matahari. Halus. Bibirnya merah, perasan buah pandan merah yang mengilatkan dan meronakan bibir.
“Mama, apa wanita tidak bisa memilih di humia siapa akan tinggal?”
“Waita, tidakkah kamu tahu tetua dan dukun rumah yowi sudah memutuskan semua? Semua harta adat sudah diterima. Dan kamu bukan hanya menjadi istri Bone. Kamu adalah peredam konflik antara dusun atas dan dusun bawah.” Waita menghela napas. Matanya tak hendak berkaca, tapi ada sesuatu yang berguguran di dadanya.
“Katanya wanita dusun bawah harus bekerja lebih keras daripada wanita dusun atas?”
Waita menggeleng, ingin menarik semua ucapan yang mendadak keluar.
“Waita, semua penghuni humia harus patuh pada suami.”
Sebelum upacara pernikahan dihelat, aneka makanan disiapkan. Tungku untuk bakar batu, babi dan betatas tidak tertinggal. Termasuk aneka musik tifa dan penari. Waita yakin Ewoyop termasuk di dalamnya. Mantra dan dendang gembira disenandungkan oleh tetua adat dan dukun rumah yowi. Selepas upacara, Waita diboyong ke humia Bone di Soroani. ***
Waita menatap atap humia. Dia tidur telentang lebih dahulu di atas lambaran tikar pandan di lantai dua. Pintu yang sempit sesekali membawa masuk hawa dingin, angin gunung masuk dan menggigilkan tubuh Waita. Di lantai satu api unggun kecil berusaha menghangatkan humia.
Bone berdeham. Kemudian unggung dipadamkan. Waita mulai gemetar. Bone naik melalui tangga dan mendekati Waita. Humia gelap, tapi Waita bisa merasakan embusan napas Bone beraroma pali. Bone merengkuh tubuh Waita. Bone menciumi tubuh Waita. Tapi semua ditanggapi dingin. Bone mengunci betis Waita. Bone hendak menyenangkan diri atas tubuh Waita. Anak panah Bone hendak dilepas ketika muncul suara halus terbawa angin masuk ke humia.
“Siapa yang memainkan tifa malam-malam begini?” ***
Catatan: Humia: nama lain rumah adat Papua wam: babi ijebasik: kulit kerang wanggokme: kapak batu ebekanem: tembakau hunuke: tarian kebahagiaan Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende: jika semua orang dianggap saudara, hidup kita akan damai yomine: pendamai dua perkampungan yang bermusuhan rumah yowi: rumah inti, tempat berkumpul para dukun dan tetua adat pali: rokok tradisional
Oiya, buat kamu yang mau baca cerpen lebih banyak, boleh banget klik link ini ya!
Baca Juga: Rubrik Dunia Kata – Kumpulan Cerpen Ruangguru
Nah, dengan melihat berbagai contoh cerpen yang menarik barusan, apakah kamu menjadi lebih tahu mengenai pengertian dan struktur cerpen? Kamu juga bisa mulai mencoba menganalisis struktur dari cerpen yang kamu baca sehari-hari, lho. Buat yang belum paham, yuk belajar lewat video beranimasi di ruangbelajar! Selain video belajar beranimasi, ada juga soal latihan beserta pembahasannya dan rangkuman.
Catatan Pringadi [daring]. Tautan: https://catatanpringadi.com/category/cerpen/ (Diakses: 19 September 2023)
Kliping Sastra Indonesia [daring]. Tautan: https://klipingsastra.wordpress.com/ (Diakses: 19 September 2023)
Nafisah, Sarah. 2020. Cerpen Anak: Gara-Gara Nenek Lupa. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/082010265/cerpen-anak-gara-gara-nenek-lupa?page=all pada 7 Oktober 2022.
Narakata. 2022. Cerpen Suatu Sisi Dalam Hidupmu Karya Andriani. Diakses dari https://www.narakata.id/2022/01/cerpen-suatu-sisi-dalam-hidupmu-karya.html pada 7 Oktober 2022.
Suherli dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas 11. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Toemon, Sylvana. 2018. Lukisan Kasih Sayang. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/08674606/lukisan-kasih-sayang?page=all pada 7 Oktober 2022.
Martin, Syrli. 2016. Si Kancil dan Buaya dari http://cerpenmu.com/cerpen-anak/kancil-dan-buaya.html pada 22 November 2022.
Vara. 2014. Kerbau dan Jalak dari https://kumpulantulisan25.blogspot.com/2014/12/cerpen-karya-anak-vara.html pada 22 November 2022.
brgfx. Free vector cartoon character of a boy playing guitar with melody symbols [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/cartoon-character-boy-playing-guitar-with-melody-symbols_18616513.htm#page=2&query=boy%20playing%20a%20guitar&position=9&from_view=search&track=ais (Diakses: 19 September 2023)
pch.vektor. People Reading Books in Library [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/people-reading-books-library_9650640.htm#query=reading%20a%20book&position=3&from_view=search&track=ais (Diakses: 18 September 2023)
Artikel ini pertama kali ditulis oleh Shabrina Alfari, kemudian diperbarui oleh Laras Sekar Seruni.
Bobo.id - Cerpen atau cerita pendek adalah salah satu contoh dari karya sastra.
Setiap karya sastra pasti memiliki unsur-unsur yang membuatnya menjadi sebuah karya yang utuh.
Apakah kamu sudah tahu apa saja unsur-unsur cepren? Kalau belum, simak penjelasannya di sini, yuk!
Baca Juga: Contoh Puisi Bertema Keluarga, Coba Buat untuk Anggota Keluargamu, yuk!
Tema adalah ide, pokok masalah yang mendasari sebuah cerita.
Tema dalam cerita merupakan pokok masalah yang diungkapkan pengarang dalam ceritanya.
Tema ada yang secara jelas dikemukakan, ada yang secara samar-samar, dan ada yang secara implisit atau terselubung.
- Bacalah cerita pendek secara menyeluruh.
- Catatlah hal-hal yang sering dibicarakan dalam cerpen.
- Catatlah kalimat-kalimat kunci yang mengandung gagasan pokok cerita.
- Hubungkan isi cerita secara keseluruhan dengan judul yang bersangkutan.
- Temukanlah kalimat-kalimat kunci yang mengandung gagasan-gagasan pokok tentang cerita itu.
Latar dalam cerpen bisa berupa waktu, suasana, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa.
Secara garis besar ada empat unsur yang membentuk latar dalam cerita, yaitu:
- Lokasi geografis (di dalamnya termasuk pemandangan, dekorasi kamar/ruangan).
- Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh.
- Waktu terjadinya peristiwa, termasuk di dalamnya zaman, musim, tahun, bulan, hari, waktu.
- Lingkungan relegius,moral, intelektual, sosial, emosional.
Latar dalam karya sastra dimaksudkan untuk membangun atau menciptakan suasana tertentu agar cerita lebih hidup dan menarik.
Baca Juga: Puisi Dibedakan Menjadi Puisi Lama dan Puisi Baru, Ketahui Jenis-Jenis Puisi Lama
Cerita pendek selalu mengandung ide atau tema yang menjadi dasar cerita, rentetan peristiwa, dan tokoh atau pelaku sebagai subjeknya.
Tokoh atau pelaku cerita merupakan pribadi-pribadi yang utuh.
Sebagai pribadi yang utuh itu, pelaku memiliki watak atau karakter tertentu.
Penokohan/karakter atau perwatakan merupakan pelaku dan segala sifat-sifatnya yang diungkapkan dalam cerita.
Pelaku dalam cerpen bukan sekadar terlibat dalam peristiwa-peristiwa, melainkan merupakan pribadi-pribadi yang utuh yang memiliki sifat dan tingkah laku yang mewarnai cerita.
Tiga cara pengarang cerpen memberikan gambaran tentang tokohnya:
- Analitik, yaitu cara pengarang mengungkapkan watak para pelaku secara langsung.
- Dramatik, yaitu cara pengarang menggambarkan watak tokoh secara tidak langsung.
Cara yang biasa digunakan dalam menggambarkan watak secara tidak langsung berikut ini:
a. Melalui dialog antara tokoh yang bersangkutan dengan tokoh lain.
b. Melalui gerak-gerik atau perilaku tokoh yang bersangkutan.
c. Melalui gambaran lingkungan sekitar, misalnya tempat tinggal tokoh yang bersangkutan.
d. Melalui pandangan, pendapat atau menyatakan sikap tokoh lain tentang tokoh yang bersangkutan.
- Campuran, yaitu menggabungkan cara analitik dan cara dramatik.
Baca Juga: Pengertian, Perbedaan, dan Contoh Pantun Kanak-Kanak, Pantun Muda, dan Pantun Tua
Alur disebut juga plot atau sering juga diartikan orang sebagai jalan cerita atau rentetan peristiwa.
Pengertian alur bisa juga diartikan sebagai hubungan logis antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Hubungan tersebut merupakan sebab akibat dari peristiwa-peristiwa.
Dalam cerpen atau cerita rekaan lainnya, alur merupakan jalinan cerita yang disusun berdasarkan rangkaian peristiwa.
Rangkaian peristiwa ada yang disusun secara urut. Misalnya proses menceritakan orang dimulai dari lahir lalu masa kanak-kanak, masa remaja, lalu dewasa. Alur seperti ini dinamakan alur maju.
Alur juga dapat disajikan dalam urutan yang dimulai dari bagian akhir menuju ke bagian awal.
Misalnya menceritakan orang, sewaktu ia dewasa, masa remaja dan kembali ke masa kanak-kanak. Alur seperti ini dinamakan alur mundur atau flash back.
Ada juga alur yang penyajiannya dimulai dari awal, lalu bagian akhir, lalu kembali ke bagian awal lagi atau tengah. Alur yang seperti itu dinamakan alur gabungan.
Sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam membawakan cerita.
- Pengarang sebagai tokoh utama: pengarang menuturkan cerita dirinya sendiri. Pelaku utamanya kata ganti orang I (aku, saya, kami)
- Pengarang sebagai tokoh bawahan: pengarang menuturkan cerita tentang tokoh utama sekaligus terlibat dalam cerita tersebut. pelaku utamanya Kau, Anda, Kamu, Kalian.
- Pengarang sebagai pengaramat: pengarang sebagai orang yang berada di luar cerita. Ia menuturkan tokoh dari luar, tidak terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya adalah ia, dia, mereka.
Baca Juga: Perbedaan Hikayat dan Cerpen Berdasarkan Unsur Intrinsik dan Ekstrinsiknya
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pada pembaca oleh penulis cerpen.
Misalnya, amanat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, patuh pada orang tua, dan masih banyak lagi.
Sumber: Buku Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX, Wahono, Abdul Hanif, tahun 2010.
Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dan pengetahuan seru, langsung saja berlangganan majalah Bobo dan Mombi SD. Tinggal klik di https://www.gridstore.id
Atau teman-teman bisa baca versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di ebooks.gramedia.com
Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan
Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.
AIA Healthiest Schools Dukung Sekolah Jadi Lebih Sehat Melalui Media Pembelajaran dan Kompetisi
Jurnal Sasindo UNPAMProgram Studi Sastra IndonesiaUniversitas PamulangJalan Surya Kencana 1, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten 15417
Email : [email protected]
Broken home, judul kali ini adalah broken home. Siapa sih yang gak tau apa itu broken home, semua orang pasti tau, kebanyakan dari mereka mengira itu hanya masalah sepele, tapi bagi mereka yang merasakan, itu adalah pengalaman terburuk di kehidupan mereka.
Aku, adalah bukti nyata kalau broken home sangat menyeramkan. Bayangkan saja, di masa aku kecil aku kehilangan sosok ibu, sosok yang sangat kuat bagi seorang anak kecil. Banyak yang mengira kalau aku baik-baik saja, ada juga yang mengira kalau aku tidak terpengaruh oleh adanya kerusakan rumah di kala aku kecil.
Semua itu bohong, sewaktu kecil hampir setiap hari aku menangis, hampir setiap kali rasanya Hampa. Kosong. Sunyi. Sepi. Sedih. Apa yang mereka lihat itu hanya alter ego. Kepribadian yang lain dari diriku yang asli atau bisa dikatakan itu adalah sisi lain dari diriku.
Terlalu lama kayaknya prolognya. Tanpa basa-basi lagi, namaku Toto, mungkin sekarang aku lebih baik daripada aku yang dulu. Sudah lama sekali aku tidak menangis, dan sudah lama juga aku tidak merasakan kasih sayang ibu. Ayah dan ibuku bercerai ketika umurku 4 tahun, masih sangat kecil, bahkan terlalu kecil bagi seorang anak yang harus ditinggalkan ibunya.
Aku masih ingat semua kejadian awal, semua pertengkaran ayah dan ibuku. Semua kejadian di pengadilan, semuanya terekam baik di kepalaku, di otakku, memori itu seakan tidak bisa dihapus. Termasuk kata terakhir ibuku sebelum dia pergi meninggalkanku, ‘Mulai sekarang jadi anak yang baik, jangan nyusahin ayah. Ibu pergi dulu.’ Dengan polosnya aku menjawab, ‘Iya, ibu cepat pulang’. Jawaban yang terlalu lugu, aku masih umur 4 tahun dan aku hanya berharap bisa ketemu ‘dia’ lagi. Ketika itu aku masih berpikir mungkin ibuku pergi ke luar kota, lalu tiba-tiba pulang bawa mainan besar, tapi kenyataannya tidak. Itu tidak pernah terjadi. Entah bagaimana aku tahu kalau sebenarnya ibuku tidak pergi, melainkan dia bercerai dengan ayahku. Coba pikirkan apa yang aku bayangkan? Yang saat itu bayangkan adalah kosong. Aku bingung apa itu cerai?.
Ada pertanyaan yang sampai saat ini menjadi misteri di kepalaku. Pernyataannya sederhana, ‘Kenapa kalian cerai? Apa karena kehadiranku? Atau justru ada penyebab lain?’. Ingin sekali aku bertanya kepada ayahku, tapi buat apa juga, biarlah itu jadi masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu.
Setelah perceraian itu, aku, ayahku, neneku, tanteku, dan kedua saudaraku pindah. Aku tumbuh sebagai anak yang tidak pernah merasakan sosok ibu. Bahkan ketika pendaftaran masuk ke sekolah dasar aku hanya ditemani tanteku. Tumbuh sebagai anak yang kurang perhatian, membuatku dipaksa menjadi dewasa. Ada yang bilang ketika kita bertambah umur, maka kita akan bertambah dewasa. Tapi itu tidak berlaku untukku, menurutku keadaanlah yang membuat kita bertambah dewasa, umur hanya sebuah angka.
Ketika aku kelas 2 sd salah satu temanku berkata dia lagi kesal sama ibunya, dia bilang begini, ‘Aku malas sama ibuku’. Lalu aku menjawab, ‘Kenapa?’. Dia menjawab, ‘Kenapa aku masih ditunggu di depan pintu gerbang sekolah? Kan aku malu’ Aku diam, bingung. ‘Kenapa malu?’ jawabku polos. ‘Malu aja’ jawab dia, singkat. Entah apa yang ada dipikiran dia, memang ada anak yang malu kalau masih ditunggu orangtuanya?.
Tumbuh sebagai anak yang kurang kasih sayang. Ketika kecil aku melihat cinta dan jenisnya seperti seram, ketika remaja aku takut itu masih kugenggam nyaman, dan semua itu aku dapat dari kecil.
Ketika kelas 3 sd, ayahku menikah lagi. Aku bahagia, entah apa yang membuat aku bahagia. Aku tumbuh di lingkungan yang berbeda, kehidupanku bisa dibilang nomaden. Sewaktu kecil aku tinggal bersama kedua orangtuaku, tak lama dari itu kami berpisah aku ikut ayahku, dan ibuku pergi. Setelah itu juga aku dikasih sebuah kehidupan baru yaitu sekolah. Kelas 4 sd aku berpindah sekolah, yang mana itu memaksa otakku, tubuhku, kedewasaanku. Aku bilang dari awal, bahwa lingkunganlah yang membuat kita dewasa, umur hanyalah angka.
Di sekolah yang baru aku dipaksa adaptasi, aku dipaksa menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Teman pertamaku di sd yang baru pernah bercerita tentang ibunya, dia bilang, ‘Kamu pernah gak dimarahi?.’ ‘Maksutnya?’ tanyaku. ‘Iya gitu, kayak misal kita berbuat nakal terus dimarahi, pernah gak?’ jawab dia. ‘Engga deh, gak pernah’ jawabku, singkat. Memang aku tidak pernah berbuat nakal kalau di depan ayahku, tapi mungkin pernah sih kalau tidak ada ayahku. Ayahku mendidik aku cukup keras, jadi aku selalu takut ayahku.
Ada yang pernah bilang juga sama aku, dia bilang gini, ‘Kamu pernah gak tidur bareng orangtua?.’ Aku jawab jujur, ‘Pernah, tapi itu dulu’ Dia menjawab, ‘Enak ya, coba aja aku jadi kamu’ ‘Yakin mau jadi kayak aku?’ tanyaku. ‘Iyalah, enak jadi kamu,’ jawab dia. ‘Coba bayangin aku, aku nih, yang udah besar masih aja tidur sekamar bareng ayah-ibuku.’ ‘Bersyukur aja kali, lah coba, kamu masih mending, aku?’ sahutku. ‘Udah lama gak tidur bareng, kedua orangtuaku cerai sedari aku kecil’ ‘Yang bener?’ tanya dia, kaget. ‘Iyaalah, masa aku bohong’ kataku.
Lanjut ke masa smp, dimana lagi-lagi aku harus bertemu orang baru, bagiku pengalaman ini tidak cukup asing. Aku selalu ngelakuin ini dari kecil. Ketika kelas 3 smp, salah temanku bertanya, ‘Gimana sih rasanya broken home?’ Aku menjawab, ‘Ya gitu, enak sih kalau dipikir’ Temanku bingung, aku juga bingung. ‘Kok enak? Apanya yang enak?’ ‘Gatau, asal keluar di kepala aja’ jawabku. ‘Tapi jujur, broken home membuatku semakin dewasa, aku jadi tau kalau tidak semua cinta itu baik, tapi sebagian dari cinta itu seram’ sambungku.
Dari kecil aku dibentuk oleh rasa takut, hanya ada satu pertanyaan yang selalu aku ingat ketika aku lagi sendiri, ‘Untuk apa aku dilahirkan, kalau pada akhirnya aku ditinggalkan.’ Tumbuh tanpa kasih sayang membuat aku menjadi pendiam, aku sering kehilangan emosi. Aku lebih senang ketika melihat kejadian brutal, apa aku tumbuh menjadi psikopat?. Tidak, aku bukan psikopat, tapi aku hanya orang yang kehilangan emosinya. Karena aku, kehilangan segalanya.
Keluargaku meninggal 2 minggu yang lalu, para polisi mengatakan kalau mereka dibunuh oleh seseorang. Dan lebih kejamnya pembunuhan ini direncana, seakan pembunuh ini punya dendam terhadap keluargaku.
‘Udah selesai ceritanya?’ kata temanku. Ada keheningan sesaat.
‘Berikan ini kepada keluargaku, bilang ke mereka aku sudah bahagia’ kataku. ‘Ini apa?’ tanya dia. ‘Cuma secarik kertas yang isinya mungkin bisa membuat mereka tenang’ kataku. Dia mengambil secarik kertas, lalu memasukkan ke katong yang ada di dadanya. ‘Pasti aku sampaikan’ katanya. ‘Kamu sudah siap? Kalau sudah, ayo kita pergi’ ‘Aku selalu siap, aku tau konsekuensinya. Aku tau apa yang kuperbuat’ kataku.
Kami berdua jalan di sebuah lorong, gelap, pengap, tidak ada jendela sekalipun selama kami berdua berjalan. Kalau kalian tidak tau, temanku bekerja di kepolisian. 3 menit kami berjalan, dengan keadaan tanganku terikat borgol. Pada akhirnya kami sampai di depan khalayak orang, hakim, serta puluhan polisi.
Aku berdiri di depan mereka semua, dengan tiang setinggi 4 meter di sebelahku. ‘Suadara Toto, anda dinyatakan bersalah, atas pembunuhan berantai yang menyebabkan 13 orang meninggal. Dan tragisnya anda melakukan itu dalam waktu 3 bulan dan 13 orang itu juga termasuk keluarga anda. Maka sesuai hukum yang berlaku anda akan digantung. Apa anda siap menanggung itu semua?’ kata hakim. ‘Saya selalu siap’ jawabku, singkat. ‘Apa ada kata terakhir?’ tanya hakim. ‘Mana yang lebih buruk? Hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik?.’
Cerpen Karangan: Basyasah Blog / Facebook: Syahvier
Cerpen Broken Home merupakan cerita pendek karangan Basyasah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Cerpen berjudul Ripin
KETIKA kawan-kawannya berhamburan ke jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah kelereng yang dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa masa kecilnya akan segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat memasukkan kelereng-kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul kawanannya.
Penarik perhatian kawanan itu tak lain adalah mobil pick up berpengeras suara dan digantungi poster besar berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan pengeras suara, membuat lagu Rhoma Irama terdengar lebih buruk dari yang biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil itu melintas di depan mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah sopir yang sedang memegang mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut yang rapi seperti Rhoma Irama. Rambut keritingnya pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat teringat bapaknya Dikin yang juga punya cambang, janggut, dan rambut seperti Rhoma Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama mati ditembak.
Entah siapa yang mulai, seluruh kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di belakang mobil. Berlari mengejar mobil yang lajunya tidak lebih cepat dari sapi, Darka, kawannya yang bertubuh paling besar, berhasil melompat naik ke bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa. Begitu beberapa yang lain mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar semakin riuh.
Ripin berlarian agak jauh di belakang. Duapuluhan kelereng yang dimenangkannya dan belasan yang lain yang merupakan modalnya, membuat kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini bukannya tak pernah ia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya berhamburan. Kawan-kawannya berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini ia harus hati-hati.
Semula, Ripin berencana untuk mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman yang didengarnya dari pengeras suara itu membuatnya berhenti. Di antara suara musik ketipung dan mesin mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti suara Rhoma Irama, sedang mengumumkan pasar malam, tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di alun-alun. Ripin tercenung, lalu berbalik arah dan berlari pulang ke rumah.
Mak sedang duduk meniup tungku ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sambil terengah-engah. Tak bisa ditangkapnya dengan jelas apa yang dikatakan mulut kecil anaknya. Ripin sibuk berceloteh sembari memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng bekas susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk dengan bunyi kelereng yang satu per satu membentur dinding dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari kalimat Ripin yang bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.
Ripin merajuk. Mengatakan setengah berteriak tentang kedatangan Rhoma Irama dan berharap Mak terbujuk. Mak berpikir, bagaimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma Irama cuma mau datang ke Cirebon atau Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak kota kami. Begitupun, nama ini membuat raut muka Mak sempat berubah cerah sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.
Ripin tahu itu. Ripin tahu kalau Mak diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma bernyanyi di radio. Ripin bahkan pernah melihat Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah bersumpah tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.
Ripin melihat cemas ke wajah Mak dan berharap sekali ini Mak masih mau berbuat nekat. Harapan ini malah membuat Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap Satria Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai dini hari. Kalau sudah begini Ripin cuma bisa nyumput dibawah selimut dan menahan mulutnya yang menangis supaya tidak bersuara.
“Mak beli duwe duit,” kata Mak berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit tempat bumbu dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah karena Mak berbohong. Kemarahan membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah Mak. Mak, bohong itu dosa.
Sekali lagi Ripin menyebut nama Rhoma Irama, bersumpah demi Allah bahwa ia sudah melihatnya. Ganteng benar.
“Ganteng kien karo bapane Dikin.”
Mak tercenung. Ripin mengeluarkan semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin. Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali bahkan ia pernah melihat bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu dapur rumahnya dan semakin bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi Ripin tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada siapapun.
Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk pergi sendiri ke pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat pasar malam didirikan, ia tinggal tak perlu malu-malu bertanya. Sayangnya ia masih takut. Nenek dulu pernah pesan agar Ripin tidak membantah Mak atau Bapak. Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak durhaka adalah kehilangan jalan ke rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek. Ripin bergidik dan semakin cemas kalau Mak menolak ajakannya.
Dulu Mak dan Ripin bisa bersenang-senang setiap malam, karena Bapak bisa dipastikan belum pulang sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam. Memang Mak belum sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak pernah lewat tontonan apapun yang ada di kampung mereka. Mak bahkan menemaninya nonton TVRI di kelurahan.
Itu dulu, waktu Bapak masih jagoan yang paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan yang lebih hebat dari Bapak. Kata orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, dimana rumahnya, seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya. Suatu pagi ditemukan mayatnya mengambang di kali, luka tembak dua kali, di dada dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak yang sudah duluan mati. Dari namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.
Semenjak jagoan setan ini berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah. Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering menghajar Mak. Semenjak itu pula Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji. Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat Ripin sama dengan bersiap-siap di hajar rotan.
Baru seminggu terakhir ini, Bapak rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai sering keluar malam, tapi jadwalnya semakin sulit dipastikan. Tidak ada yang tahu untuk berapa lama ia pergi dan kapan ia pulang.
Sampai sore, Mak kelihatan gelisah, mondar-mandir di dapur. Ripin tahu kalau Mak gelisah artinya Mak sudah tidak tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah bosan dengar radio. Kalau sudah begini, Ripin tidak akan mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah hampir bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore pula, Ripin ketiduran di kursi depan. Mimpi naik komidi putar.
Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.
Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin mengeja huruf Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya keluar bau asam yang menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan rotannya lebih keras. Belum dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.
Baru 10 ayat, Ripin melihat Bapak sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu bahwa yang didengarnya adalah dengkur halus Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak sudah benar-benar tertidur. Dengkurnya keras sekali.
Ripin tak bisa memutuskan apakah sebaiknya ia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam apa yang akan menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan ia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah, ia duduk dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-tiba Ripin kepingin kencing. Mak masih mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan yang terlintas di kepalanya adalah wahana rumah hantu di pasar malam.
Menjelang maghrib barulah Bapak terjaga. Ripin masih duduk diam, menahan kencingnya, di depan Bapak. Keadaan menahan kencing membuat Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin sedang mematung, membuat rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan kanannya dengan keras. Ripin tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak sepenuhnya karena perasaan sakit ditangannya. Ripin kencing.
Bapak mendengar bunyi gemericik itu dengan tatapan terpana. Ia melihat ke bawah meja lalu berdiri tegak menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur sumpah serapah. Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus memukulinya. Ripin tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menjerit kesakitan. Dalam kesakitannya ia merasa menonton Tong Setan jadi semakin tidak mungkin, sehingga ia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah dapur, memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya.
Bapak memang berhenti memukuli Ripin, tapi hasrat memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak menyabetkan rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak menjerit atau menangis. Mak diam. Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa kejadiannya akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mak akan menutupi wajahnya, dan Bapak akan berhenti karena kelelahan.
Sore itu, ternyata tidak sama. Ripin tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan itu mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lalu menatap Bapak lekat-lekat. Ripin tahu apa artinya tatapan itu. Tatapan itu pernah ia tujukan pada Darka, sesaat sebelum perkelahian mereka dulu. Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi saat ia menatap tajam-tajam itu, ia sudah tidak akan takut lagi. Mak sudah tidak takut lagi.
Hampir bersamaan, terdengar azan maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib atau tatapan Mak yang menghentikan Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan mengancam akan memukul Ripin lagi jika saat shalat nanti Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu membanting pintu.
Ripin tiba-tiba melihat Mak mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bangkit dengan sigap, lalu bertanya padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar. Mak masuk ke kamar, lalu tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin ke dalam tas. Di depan lemari Mak sempat berhenti dan berpikir apa lagi yang perlu dibawanya. Tak jelas alasan Mak memasukkan kotak berisi perhiasan imitasi yang tidak ada harganya ke dalam tas itu.
Sebentar kemudian Mak sudah menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Mak berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah bergumam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian.
Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.
Terengah-engah, di depan rumahnya, ia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, ia dapat melihat Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak yang kecil itu ke arah dinding.
Pintu masuk Tong Setan sudah dibuka. Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk dengan perasaan takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga yang berdiri di samping tong yang sangat besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa anak yang menaiki undakan yang rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya. Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.
Tong itu, Ripin teringat sumur di belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai menjalankan trail. Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di dinding tong dan semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa yang dilihatnya sekaligus menyesal. Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus melihat ke arah kedua motor yang kemudian saling melompat-lompat satu sama lain. Ripin semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri dinding tong sampai hampir sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa meraih motor-motor itu.
Tong Setan berakhir. Ripin ingin bertahan sebentar di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi petugas tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak yang belum disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu, tapi tak ada uang sepeserpun tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan uang sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng yang sekarang di genggamnya hanya berisi kelereng. Tidak ada yang mau menukar karcis masuk dengan kelereng.
Di luar, kompleks pasar malam begitu ramai. Kemanapun Ripin melangkah ia hanya melihat kegembiraan. Mak tentu akan senang, jika bisa ada di sini. Begitu ia ingat Mak, ia ingat Rhoma Irama yang mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.
Ripin mengikuti firasatnya untuk mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi berbagai jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon dan suaranya yang merdu. Ia memakai pakaian yang gemerlap, persis yang pernah dilihatnya di sebuah poster Rhoma Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali lagi. Jika benar ini Rhoma Irama, ia akan bisa menceritakannya pada Mak, biar Mak ikut senang. Harusnya ia berusaha lebih keras membangunkan Mak, tapi Ripin tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.
Ripin sudah begitu dekat, dirinya dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-laki tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian laki-laki itu, tapi rupanya ia sedang sibuk dengan berbagai pengumumannya. Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan jenggot palsu lalu menyelipkannya ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak menggubrisnya.
Ripin memutuskan untuk berseru padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di sekitarnya menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut, lalu menoleh ke arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membuat lebih banyak orang memperhatikannya, laki-laki, dengan mikrofon di depan mulutnya, berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lalu mengubah posisi berdirinya, seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan suara yang berat dan basah. Orang-orang tertawa.
Ripin menatapnya dengan pandangan kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, gagal menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca.
Ripin menyebut namanya dengan gemetar dan malu.
“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari Arifin.”
Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama. Siapapun juga. Pengunjung pasar malam yang kami hormati, sambut calon artis besar kita, Arifin Irama,” kata Ruslan Irama. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meja Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama memetik gitarnya. Belum pernah Ripin melihat gitar yang begitu indah. Berwarna hitam mengkilat, dengan motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.
Gitar yang indah itu masih terkenang-kenang ketika pasar malam bubar dan lampu-lampu mulai dimatikan. Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar ia tak tahu kemana pulang. Neneknya benar. Rumahnya hilang.
Kebingungan, Ripin malah kembali melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya membawanya ke dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut melihat tidak ada siapapun di sekitar meja itu. Hanya ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan hati-hati ia menyentuh gitar itu, lalu mengangkatnya. Ia semakin terkejut melihat betapa gitar itu begitu ringan.
Beberapa puluh menit kemudian ia menyusuri trotoar yang entah menuju kemana. Ia menyandang gitar yang dicurinya dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum. Satu-satunya yang tidak entah adalah bahwa Mak akan selalu mencintai Rhoma Irama. Itulah yang akan diraihnya. Ia akan menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar Ripin Irama. Setiap kali Mak akan memeluk dan menimangnya.
Sampai puluhan tahun kemudian, satu kenyataan gelap yang luput dimengertinya adalah bahwa malam itu, setelah kepala Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain yang tidak diketahuinya: beberapa hari setelah kematian Mak, mayat Bapak ditemukan mengambang di kali, dengan lubang di dada dan di dahi, di tembak jagoan seram bernama Petrus.
Ripin tidak pernah kembali. ***
Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Tanggapan Singkat Beserta Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9
Cerpen berjudul Obat Bosan dari Nenek
Obat Bosan dari Nenek
Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah yang ada di rumah. Mbok Nah sibuk menyetrika.
Lili merasa kesal dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita atau Oni.
“Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah.
“Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede? Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan.
“Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia ‘kan harus tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi ke kamar Ibu dan menelepon Nenek.
Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, kalau tiap hari begini Lili bisa mati. Bosannya setengah mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!” “Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu ‘kan penyakit yang paling gampang diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!”
“Tentu saja. Cucu-cucu yang tinggal sama Nenek segudang. Di sana ‘kan selalu ramai. Di sini sepi!”
“Selalu sepi tidak enak, selalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar sebentar. Nenek akan segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu!”
“Baiklah, cepat datang, ya Nek!” kata Lili dengan gembira dan meletakkan gagang telepon. Dalam hati Lili bertanya-tanya seperti apa kiranya obat bosan itu.
Kalau berbentuk pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk permainan, nah ini lebih asyik. Tetapi, mainan pun lama-lama bias membosankan.
Sambil menunggu Nenek datang, Lili mendekati Mbok Nah lagi. “Mbok, Mbok, Nenek mau datang membawakan obat bosan. Tahu tidak Mbok, obat bosan itu seperti apa sih?” Mbok Nah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“Lili, Lili, mana ada sih obat bosan? Ada juga obat batuk, obat sakit perut, obat flu. Kalau Mbok Nah bosan, obatnya sih gampang saja. Stel saja kaset dangdut. Hilang sudah rasa bosannya!” kata Mbok Nah.
Sekarang Lili yang tertawa. “Kalau saya sih tambah bosan mendengar kaset lagu dangdut. Kaset lagu anak-anak saja, paling seminggu enak didengar. Sesudah itu bosan saya mendengarnya!” kata Lili.
“Ya, sudah. Kesukaan orang ‘kan Iain-Iain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa obat bosan yang bagaimana!” kata Mbok Nah. Empat puluh menit kemudian Nenek datang. Lili menyambutnya dengan gembira. Nenek mengeluarkan beberapa buah buku dari tasnya.
“Yaaa, obat bosannya bukuuuu. Lili kan malas baca buku!” seru Lili dengan kecewa.
“Hei, kamu belum tahu nikmatnya membaca buku rupanya. Kalau sudah senang membaca, kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi. Nah, sekarang coba kamu baca buku yang ini!” kata Nenek sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar.
“Kalau tebal, malas ah bacanya!” kata Lili dengan segan. “Tidak, ini cuma 24 halaman. Tiap halaman ada gambarnya dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil. Bagus, Iho! Anak-anak di berbagai negara sudah membaca buku ini!” Nenek memberi semangat.
Lili mulai membaca. Eh, ternyata menarik juga. Nenek tersenyum dan berkata, “Kamu sudah kelas empat. Sayang sekali kamu belum mengenal banyak cerita yang bagus. Sebetulnya buku bukan hanya buku cerita, tetapi ada juga buku tentang berbagai pengetahuan. Misalnya kamu mau tahu asal minyak tanah, atau cara kerja tukang pos, atau tentang menanam bunga atau apa saja, semua ada bukunya!”
“lya, Nek? Kalau buku cara membuat mainan dari kertas, ada tidak Nek? Itu Iho, seperti membuat perahu, burung. Lili mau baca buku itu kalau ada!” kata Lili.
“Tentu saja ada. Nanti, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti, makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal. Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa bosan. Bermain dengan kawan memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti kalau kamu menjadi mahasiswi, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang tebal-tebal!” kata Nenek.
“Buku ceritanya dari mana, Nek?” tanya Lili.
“Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu atau dua buah buku. Kemudian kamu bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu yang punya buku cerita. Selain itu kamu juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu ada perpustakaan tidak?” tanya Nenek.
“Ada. Tapi Lili belum pernah pinjam!” Lili mengaku terus terang.
“Lili! Lili! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan. Tetapi, baiklah! Sekarang Nenek akan membimbingmu. Nenek akan pinjamkan buku-buku yang menarik, supaya kamu rajin membaca. Sesudah itu berangsur-angsur kamu mulai membaca buku yang banyak teksnya!” kafa Nenek.
Selama satu bulan Nenek akan sering datang membawa buku cerita untuk Lili. Sampai akhirnya, bila Lili sudah gemar membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-buku cerita.
Lili sudah bisa mencari sendiri buku cerita atau pengetahuan yang dibacanya. Yang penting juga, Lili sudah mendapat obat bosan yang ampuh dari Nenek, hingga seumur hidup dia akan bebas dari penyakit bosan.
Baca Juga: Apa Saja Unsur-Unsur Ekstrinsik Cerpen? | Bahasa Indonesia Kelas 9
Cerpen berjudul Wanita Berwajah Penyok
Wanita Berwajah Penyok
Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang yang tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabnya. Konon dia lahir tanpa diminta. Korban gagal gugur kandungan dari seorang perempuan. Hasil sebuah hubungan gelap yang dilaknat warga dan Tuhan.
Perempuan yang saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu yang sebenarnya. Dia hanya inang yang berkasihan lalu bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayi berwajah penyok yang dibuang orang di pinggir kampung.
Suatu hari yang biasa; siang terang dan wanita berwajah penyok tengah keliling kampung sendiri saat anak-anak kecil sepulang sekolah itu mulai mengekori dan menyambut punggungnya di belakang.
Maka, wanita berwajah penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya yang dekil melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang terkena timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengucur dari situ, mengubah seragam putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan bubar satu-satu.
Dengan terpaksa, keluarga wanita berwajah penyok akhirnya memutuskan untuk memasung dirinya pada sebuah ruangan kecil yang tak bisa disebut manusiawi dekat tanah pekuburan. Sejak itu wanita berwajah penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti tahun, tanpa tahu itu malam atau siang.
Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka, yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia akan melancarkan jawabannya. Tak ada yang benar benar tahu apa yang dia kerjakan di dalam sana walau kadang terdengar suaranya berteriak untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan.
Orang-orang mengira itu suara kuntilanak jejadian penghuni kuburan. Tak pernah ada orang yang benar-benar mendekat. Wanita berwajah penyok telah lupa bahasa tanpa ia pernah benar-benar menguasainya.
Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang akan bertanya bagaimana ia bisa bertahan hidup? Sebab ia telah menjadi sendiri.
Pada malam yang biasanya kelam nan pekat, kini wanita berwajah penyok bisa mendapat segaris cahaya dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia bisa melihat rembulan. Bertahun dia tidak melihat rembulan hingga ia lupa bahwa yang dilihatnya adalah rembulan.
Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, ia merasa bahwa dirinya punya teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa yang hanya ia mengerti, ia bercakap-cakap dengan bulan. Dia selalu menunggu teman barunya untuk berkunjung dan bercakap-cakap dengannya setiap malam.
Namun, semakin hari bentuk wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil dan terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi.
Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya masih pasi. Saat bulan bulat penuh, wanita berwajah penyok girang sekali sebab ini berarti dirinya berhasil menghibur teman baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan seperti yang sudah-sudah, wanita berwajah penyok tak pernah bosan menghiburnya dengan bahasanya sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu.
Hingga suatu malam, sehari setelah bulan benar-benar sabit, rembulan tidak datang mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam itu hujan turun deras. Wanita berwajah penyok berpikir bahwa rembulan sedang menangis. Maka dia ikut menangis pula, kesedihan mendalam sahabatnya, dan sekali lagi, dengan bahasa yang hanya bisa dia mengerti, dirinya berusaha membujuk bulan dan menghiburnya.
Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air masuk dari celah atap ruang pasung yang menjadi bocor. Menimpa kepala wanita berwajah penyok dan membuat dirinya kebasahan.
Lelah, wanita berwajah penyok tertidur. Ia menggigil hebat tanpa ada orang yang tahu keadaannya. Paginya ia terbangun oleh segaris sinar yang masuk dari celah atap. Sinar kecil itu jatuh ke kubangan air yang menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam. Tetapi, begitu dia terbangun yang diingatnya hanyalah rembulan.
Siang telah menjelang, ini berarti rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalam bersembunyi di balik awan sambil menangis. Ia menyesal tak bisa melihat wajah rembulan malam tadi.
Didekatinya genangan air tadi. Genangan yang tak jernih. Ia berwarna coklat karena bercampur debu. Sebuah bayangan ada di sana. la tersenyum dan menemukan wajah rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi sebab bersama sahabat di dekatnya.
Cerpen berjudul Reinkarnasi Ibu
Akhirnya mobil itu meninggalkan lapangan parkir yang basah. Hujan sedari pagi membasahi jalan-jalan kota yang dipenuhi guguran daun. Di dalam mobil terlihat seorang perempuan menangis dengan hening. Tak ada yang ditatapnya selain jalanan yang sepi. Tangannya sibuk di belakang kemudi. Sesekali dia mengusap air mata. Tak ada yang abadi, pikirnya. Tak ada yang abadi selain perubahan.
Dia ingat ketika tiba-tiba saja ayahnya mengabarkan kematian seorang ibu. Kenangan yang berlompatan muncul di tidur malamnya. Ibu yang disayangi harus pergi tanpa dimengerti. Perempuan itu bertambah dewasa dan selalu riuh dengan keseharian. Akhirnya dia berusaha melupakan siapa ibunya, bagaimana rupa wajah, dan berusaha melupakan siapa yang melahirkannya. Waktu telah mengubah dia dengan segala fisiknya.
Tapi, pagi ini perempuan muda itu menemukan kembali bayangan ibu kandungnya. Di tempat dia bekerja: sebagai tukang sapu. Kenyataan tak diterima perempuan itu, ibu yang dia lupakan hadir kembali dengan status yang lebih rendah.
Kelebat waktu yang berloncatan menimbulkan lelatu pada bayangan masa lalu. Ditemuinya tukang sapu yang sedang sibuk mengelap kaca-kaca jendela di dalam ruangan ber-AC itu, ditatapnya lekat-lekat. Mulutnya tiba-tiba saja kaku tak dapat berucap apa pun. Kata-kata yang sudah diaturnya tiba-tiba saja tertahan di pita suara. Perhatiannya tak lepas dari wajah yang mulai memunculkan keriput-keriput. Ira tak mau kalah seperti kemarin yang langsung pulang untuk menghilangkan ketidakpercayaan. Jalinan masa lalu membawa Ira pada ibu di tahun 80-an. Pada penderitaan sebuah hati yang harus pergi bersama waktu untuk berubah.
Tapi mencapai reinkarnasi itu membutuhkan waktu ratusan tahun di alam sana. Perputaran lahir dan mati bukan waktu yang sekejap. Ada proses yang rumit, dan aku sendiri tak mengerti. Tak semudah membalikkan keadaan. Sekarang ini baru beberapa tahun berlalu. Dia muncul dengan keadaan yang begitu istimewa di kantor ini. Tukang sapu! Sosok yang aneh muncul setelah proses yang rumit. Aku pikir akan hadir seorang sosok yang lebih baik. Ternyata…. Tak kubayangkan dia harus menjadi ibu kedua dalam hidupku. Ibu yang tak pernah aku sangka dan pernah aku lupa. Kubayangkan ibu baruku seorang tathagata, tapi bukan. Dia hanya seorang yang mungkin kusesali kehadirannya.
Begitu saja lelatu itu menyulut kerinduan akan sosok ibu yang tak pernah aku ungkit selama ini. Di mana duniaku bersatu bersama keriuhan kota yang menjelma menjadi kesibukan-kesibukan. Ah… kusingkirkan sosok itu, tak kubiarkan pusat perhatian beralih pada perempuan yang belum kukenal. Entah siapa dia, dan dari mana datangnya aku tidak tahu. Kembali aku sibuk, membiarkan perempuan itu bekerja sampai meninggalkan ruang kerjaku.
Pada titik-titik kejenuhanku, muncul keinginan untuk mengenang masa lalu. Kembali ke desa sejenak, mengunjungi keluarga ayah di sana. Tapi kuhentikan keanehan ini, mungkin ini timbul karena hadirnya perempuan itu. Tak aneh jika itu yang terjadi, karena selalu saja tanpa diperintah tukang sapu itu selalu mencuri perhatianku. Seolah tahu bahwa aku pernah memiliki seorang ibu yang mirip dengan dia.
Kuangkat telepon dan terdengar seorang yang berusaha meyakinkan aku bahwa tukang sapu itu ibuku yang kembali setelah bereinkarnasi. Kutanyakan siapa penelepon itu tapi seseorang di sana tak menjawab dan menutup sambungan telepon. Aku tak memedulikan semua itu, aku kembali sibuk dengan pekerjaanku.
Satu sore ketika hendak meninggalkan kantor, aku dan tukang sapu itu berada dalam satu lift. Turun lalu menuju luar gedung. Aku tunjukkan sikap sebagai pimpinan tapi apa yang terjadi tukang sapu itu sengaja mendendangkan sebuah lagu. Lagu yang tak asing lagi bagiku, lagu yang sering mengantarkan aku ke dunia mimpi. Ya, lagu yang aku hafal bahwa itu adalah lagu yang Ibu buat untukku karena aku sulit tidur ketika kecil.
Setelah melihat gugusan bintang dan sabit malam, aku segera mendorong Ibu ke kamarku untuk menunggui aku tidur. Karena juga tak terlelap, Ibu menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Lagu yang menceritakan hujan, angkasa, bidadari, dan istana langit. Mendengar lagu Ibu, aku semakin tak dapat tidur. Aku meminta Ibu bercerita tentang hujan, angkasa, bidadari, dan istana langit. Aku ingin ke sana ke istana langit, tempat kakek dan nenek yang tak pernah aku jumpai dan selalu mendoakan aku yang ada di bumi. Tapi Ibu berkata bahwa yang akan bersama kakek adalah Ibu terlebih dahulu dan kemudian Ayah. Aku hanya merengut tanpa mengerti apa yang Ibu maksud dengan kata-katanya. Aku pun terlelap setelah lelah mendengar dongeng Ibu.
Lagu yang saat ini digumamkan oleh tukang sapu itu adalah lagu pengantar tidurku. Aku tak mengerti mengapa dia tahu tentang lagu itu. Aku tak jadi bersikap pongah terhadap tukang sapu itu. Tapi aku tak mau ia masuk ke dalam kehidupanku sebagai ibu yang sekian lama aku tunggu kehadirannya.
Memang setelah kepergian Ibu, beberapa tahun kemudian Ayah turut menyusulnya. Aku dititipkan pada salah satu keluarga di Jakarta, sampai akhirnya Jakarta menjadi tempat hidupku sampai kini. Kejadian yang Ibu pesankan lewat lagu pengantar tidur itu baru saja aku sadari setelah keberadaan tukang sapu dalam lift tadi sore.
Kembali aku ke kantor pagi hari. Aku temukan surat tak bernama.
Ira, aku ibumu yang telah kembali Mengapa tak kau akui aku sebagai ibumu Ira, Ibu tahu kau selalu rindu akan sebuah kasih sayang
Bersama surat tak bernama itu, aku temukan setangkai bunga sedap malam. Sedap malam yang masih kuncup hijau. Sedap malam yang kemudian aku hirup wanginya dalam-dalam. Belum begitu harum, tapi aku suka sedap malam yang tak mekar dan yang mengetahui ini hanyalah Ibu. Aku cari tukang sapu itu, tapi aku mendengar dia tak masuk kerja hari ini dan tak ada yang melihatnya sejak pagi. Jadi, siapa yang membawa bingkisan masa lalu bersama surat tak bernama itu?
Telepon berdering dan aku mendengar seseorang berkata. Aku kenal suara itu, suara Ibu tengah menyuapi aku waktu pulang bermain. Ira kau suka ini, Sayang. Bacem tempe asam manis, kau suka, bukan? Ayo makan yang banyak, nanti main lagi. Cepatlah Ira, Ibu sedang menunggu kedatangan Ayah siang ini.
Siapa? Aku tanya dan telepon langsung diputus. Setelah itu aku tak pernah menjumpai tukang sapu itu. Dia pergi seperti lelatu yang hilang terkena oksigen. Aku pastikan dia bukan ibuku, tapi apa yang dikatakan hatiku bukan itu. Apalagi aku mulai merindukan kehadiran tukang sapu itu.
Ibu tahu kau akan merindukan kasih sayang, Ira
Kau tak boleh merendahkan aku sebagai tukang sapu
Ira, aku ibumu tapi kau tak mau mengerti
Ibu mau kau menghargai waktu, tukang sapu, dan perubahan
Secarik kertas kembali aku temukan di meja kerja. Bersama kuncup sedap malam yang cantik. Kini aku tahu bahwa tukang sapu itu ibuku, tapi semuanya terlambat.
“Ibu, aku belum siap engkau bereinkarnasi lagi!”
Sebuah mobil mewah meninggalkan lapangan parkir yang basah. Di dalamnya seorang perempuan menangis memanggil sebuah nama.
“Ira, Ibu takkan bereinkarnasi lagi!”***
Cerpen berjudul Kancil dan Buaya
Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.
Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.
Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu, sehingga kau datang kemari?”.
“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.
Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.
Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman akan merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”.
“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.
“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah pun juga ada.”
“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut dengan sedikit marah.
“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.
“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.
“Iya, yakin”, jawab Kancil.
“Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya.
“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua buaya yang ada di dalam sungai ini”.
Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian sungai.
Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan yang dia inginkan.
Cerpen berjudul Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”
Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi.
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.
Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh.
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu.
Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.
Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.
Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.
Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.
Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.
Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya.
Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.
Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak memaafkan.
Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?
Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat.
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.
Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.
Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.
Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. ***
Cerpen berjudul Sesaat Sebelum Berangkat
Sesaat Sebelum Berangkat
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau menginap?”
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***
Cerpen berjudul Semangkuk Perpisahan di Meja Makan
Semangkuk Perpisahan di Meja Makan
Oleh: Miranda Seftiana
Ibu saya bilang perempuan harus bisa memasak. Setidaknya satu menu sepanjang hidupnya. Saya merasa tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga urusan lapar dan makan.
Betul. Semasa kecil, saya sering didongengi ibu. Katanya hidup di surga itu nyaman sekali, tinggal tunjuk langsung jadi. Mau anggur akan diantar ke hadapan. Mau minum dan makan juga demikian. Bukankah sekarang zaman juga sudah begini? Haus dan lapar tinggal buka ponsel. Hanya perlu satu jari untuk mcmbuatnya ada di depan mata. Lalu, mengapa harus susah payah memasak segala?
Bukan. Bukan saya tidak pernah memasak sama sekali. Saya pernah merebus mi instan, menggoreng telur, atau beberapa hal lain untuk bertahan hidup. Lebih-lebih ketika masih mahasiswa dulu. Tapi ini berbeda. Memasak yang dimaksud ibu saya bukan sekadar bisa, melainkan memang lihai sebab akan memengaruhi rasa.
Sekali lidah harus langsung enak terasa sehingga sampai sajian tandas di piring kenangan baiklah yang terbawa. Maka, demi memenuhi angan-angan punya anak perempuan yang bisa menyajikan penganan enak itu, ibu kemudian mendesak saya datang ke rumahnya.
“Ambil libur dua hari apa tidak bisa sama sekali?” desaknya di ujung telepon.
Saya menjepit ponsel di antara kepala dan bahu sementara sepasang tangan masih berusaha melepaskan sarung karet berwarna pucat. Saya memang baru keluar dari ruang operasi ketika ibu menelepon lagi untuk kesekian kali.
“Susah, Ibu. Saya punya jadwal bedah sesar setidaknya sampai akhir tahun ini. Apalagi menjelang hari raya, selain musim hujan, juga musim orang melahirkan.”
Saya dapat mendengar embusan napas ibu di sana. Suaranya terlalu kentara untuk ruang operasi yang hening dan sepi.
“Apa yang bisa memastikan nyawa anak manusia sampai dengan baik ke dunia hanya kamu?” sindir Ibu terkesan tajam.
“Ya tidak,” jawab saya sembari membuka penutup sampah dan melempar sarung tangan karet itu ke dalamnya.
“Berapa dokter kandungan di rumah sakitmu?”
“Kalau begitu tukar jaga kan bisa, kecuali memang kamu tidak menginginkannya!” sentak Ibu sebelum mengakhiri panggilan.
Saya mengusap wajah dengan sebelah tangan. Tidak mengerti dengan sikap ibu barusan. Seolah-olah jika saya tidak bisa memasak, maka akan berbuah kiamat. Padahal, suami saya saja mengerti. Kami sudah sering memesan makanan yang diinginkan dari berbagai penyedia layanan katering rumahan.
Dari yang enak sampai yang sehat. Dari yang dikelola ibu rumah tangga sampai ahli gizi juga ada. Anak-anak juga tidak jauh berbeda. Pagi terbiasa sarapan roti atau sereal dengan susu. Siang makan katering sekolah, malam bisa pesan dari aplikasi ponsel. Begitu mudah hidup sekarang, mengapa harus kembali mengakrabi wajan dan api?
Setelah berdiskusi dengan suami dan membujuk rekan bertukar jaga, di sinilah saya sekarang, rumah ibu yang rindang. Halaman rumahnya dihiasi hamparan rumput dengan dinding dirambati bunga putih berdaun lebar. Ibu masih senang selera lama. Tanamannya adalah bugenvil aneka warna, telinga gajah, dan lidah mertua.
Begitu membuka pintu, ia segera memeluk dengan erat.
“Saya hanya bisa sampai besok di sini.”
“Tidak bisa diperpanjang?”
Saya menggeleng. Ibu mendesah. Andai ibu tahu untuk dua hari ini saja saya harus dinas dari pagi bertemu pagi. Merapel jadwal hingga membuat lutut rasanya sulit berdiri.
“Ya sudah, kau istirahat dulu. Esok subuh kita belanja bahan membuat gangan ke pasar.”
Lantai dapur mendadak penuh oleh jagung, ubi kayu, kacang panjang, waluh, aneka bumbu, dan umbut kelapa. Bahan terakhir ini yang paling mahal di antara lainnya. Mungkin karena demi mendapatkannya harus menumbangkan sebatang kepala. Merelakan mayang tak berkembang menjadi puluhan buah.
Sementara ibu mempersiapkan sayuran, saya dimintanya mengolah bumbu. Namun, belum apa-apa sudah terdengar suaranya menyela.
“Bukan begitu cara memecah kemiri, nanti hancur!”
“Memang apa bedanya, Bu? Toh, sama-sama akan dihaluskan juga.” Saya menyanggah. Ibu menggeleng.
“Kau tahu setiap manusia ini akhirnya akan mati dan hancur dalam tanah kan?”
Saya mengangguk lantas berucap, “Lalu, apa hubungannya dengan cara memecah kemiri?”
“Kalau sudah tahu akan mati dan hancur, apa sembarangan juga perlakuanmu saat mengeluarkan bayi dari perut ibunya?”
Saya diam. Tanpa menyanggah saya saksikan ibu memecah kemiri. Gerakannya hati-hati sekali. Persis seperti menolong bayi memecah gelap rahim menuju bumi. Mula-mula ibu menjepit kemiri dengan telunjuk dan jempol, lalu ulekan ia ketukkan sehingga terdengar suara kulit keras yang rekah. Ibu kemudian melebarkan rekahan dengan ujung pisau hingga terpisah.
Hasilnya sebiji kemiri yang utuh dan bersih. Saya menerimanya dari tangan ibu dengan takjub. Bagai sekolah lagi, saya dituntun melalui satu per satu proses memasak sayur ini. Proses mengolah bumbu menjadi terpenting menurut ibu, terlihat dari caranya menerangkan satu demi satu.
“Kalau membuat gangan bersantan, bawang merahnya mesti lebih banyak,” beri tahu Ibu seusai merajang bawang di atas cobek langsung.
“Entahlah. Nenekmu yang mengajari Ibu. Mungkin supaya lebih gurih.”
Saya tersenyum kecil. Sebuah penjelasan asal ada. Berbeda semasa kuliah dulu. Segalanya dituntut sumber, dikutip dari penelitian mana, juga tahunnya berapa. Tidak terkecuali urusan bawang-bawangan. Seperti yang pernah tidak sengaja saya baca saat mencari sumber referensi tentang antibiotik alami. Konon bawang merah dan bawang putih bisa digunakan sebagai antibiotik, antiperadangan, bahkan melawan kanker.
Itu sebabnya dulu saya sempat mengira urusan domestik rumah tangga tidak lebih sulit daripada mengeluarkan diri dengan kepala tegak dari fakultas kedokteran. Tidak lebih sulit dari berjuang lulus dari semua ujian dengan nilai memuaskan. Karena dulu teman-teman saya sering berkata ingin nikah saja jika diterpa ujian macam-macam ditambah tugas beragam. Nyatanya tidak sepenuhnya betul juga. Banyak hal yang saya tak tahu, termasuk urusan bumbu.
“Haluskanlah,” ujar Ibu setelah selesai menaruh dan merajang bawang, kunyit, jahe, kencur. lengkuas, juga lainnya di cobek. “Setelah itu kau tumis bumbunya dengan sedikit minyak dan api kecil.”
Ibu kemudian beranjak menuju panci. Ia tampak mengaduk sebentar, mengangkat bergantian potongan ubi kayu, waluh, jagung. Setelah dipastikan agak lunak, ibu kemudian memasukkan potongan kacang panjang. Saya sendiri baru saja selesai mengulek bumbu dan bersiap menumisnya di tungku sebelah kiri ibu.
“Kalau sayurnya sudah lunak. kau masukkan dulu santan encer.”
Saya memperhatikan instruksi ibu dengan saksama. Memberi catatan kecil di buku yang saya bawa. Sekarang tulisan saya lebih parah dari cakar ayam. Ibu banyak memberi instruksi dan cepat sekali. Tidak akan ada salinan materi dari file presentasi. Semua mesti disimak dan dicatat bersamaan.
Setelah letupan pertama, ibu kemudian memasukkan potongan garih, ikan gabus asin yang biasa dijadikan lauk makan. Disusul bumbu yang telah saya tumis tadi.
“Kau mesti tahu, Hen, perempuan itu seperti sekotak bumbu dapur. Dia yang menentukan seperti apa rasa sajian, rasa kehidupan. Manis, asin, asam, pedas. Kalau dia pandai menakar, setiap rasa akan seimbang, hasilnya gurih dan terkenang,” ujar Ibu sembari menambahkan gula dan garam.
Aku kemudian dimintanya mengaduk dan menambahkan santan kental. Perlahan- lahan gangan berubah warna dari yang kuning pekat menjadi sedikit lebih terang. Menjelang api dimatikan, ibu menabur rajangan cabai merah besar.
“Ambil mangkuk di rak. Hen.”
“Ibu menanak beras usang ya?” Saya mengernyitkan dahi begitu menyendok nasi. Beras usang itu beras lama. Nasinya lebih pera.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Kok yang usang, Bu? Kita kan tidak sedang hajatan.”
“Kau tahu mengapa orang hajatan pantang memakai beras baru?”
“Karena cenderung lebih lembek. Kalau dimasak jadinya sedikit, bisa-bisa tidak mencukupi jamuan tamu yang datang.”
“Begitulah hakikat orang yang lebih tua. Dia mesti seperti beras usang, mencukupi banyak orang. Ibu berharap kau juga bisa begitu. Kalau Ibu sudah tidak ada, kaulah yang tertua di keluarga kita, cukupilah siapa-siapa yang perlu dibantu.”
“Bu,” rajuk saya lirih. Sejak Bapak wafat, percakapan tentang kematian memang membuat saya tak nyaman. “Bicara apa Ibu ini. Ibu masih sehat, pasti panjang umur.”
Ibu mengulas senyum tipis. “Nak, manusia itu seperti sayur dalam semangkuk gangan umbut. Usia yang paling tua serupa ubi kayu, keras, hambar. Usia sepertimu mirip dengan potongan waluh. Tidak terlalu keras dengan sedikit rasa manis. Paling muda ya tidak ubahnya umbut. Lembut dan manis. Semua sama akan lunak juga setelah dimasak. tidak peduli ia yang paling keras atau lembut. Kita pun sama, akan wafat juga. Tidak peduli sudah baya atau masih muda.”
Melihat raut wajah putrinya yang berubah muram, lekas-lekas ibu menyendokkan gangan ke piring saya seraya berujar, “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mari kita makan.”
Selepas Subuh saya berniat pamit pulang pada Ibu. Libur telah usai dan saya harus kembali ke rumah sakit segera. Satu kali ketuk, ibu tidak menyahut. Juga ketukan-ketukan berikutnya. Mungkin ibu tertidur selepas berzikir pikir saya.
Namun, perkiraan saya meleset saat mendapati ibu lunglai menyandar di pintu lemari. Tubuhnya masih terbalut mukena dengan tasbih di tangan. Lekas-lekas saya raba pergelangan tangan dan lehernya. Nihil, ibu telah tiada sebelum saya sempat berpamitan padanya.
Suami dan anak-anak saya menyusul pagi harinya. Pengeras suara di masjid lantang mengabarkan kepergian ibu pada orang-orang. Sanak saudara dan handai taulan kami berdatangan. Proses pemakaman dipersiapkan. Tidak terkecuali sajian pada prosesi turun tanah; hari pertama kematian dimulai sejak jenazah turun dari rumah dan dibawa menuju liang lahat.
“Kau yakin tidak mau pesan jamuan dari katering saja?” Suami saya memandang ragu.
Saya melepas napas. “Saya hanya mau Ibu bahagia karena putrinya bisa memasak. Walaupun cuma satu, itu juga sajian untuk kematiannya.” ***
Unsur intrinsik cerita merupakan bahan penyusun karya sastra yang bersumber dari karya itu sendiri. Unsur intrinsik cerita harus ada dalam sebuah karya, berbeda dengan unsur ekstrinsik. Jika salah satu unsur tidak dicantumkan, maka tulisan tersebut tidak bisa disebut karya sastra. Unsur–unsur intrinsik cerita pendek adalah sebagai berikut:
- Tema. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, unsur intrinsik dalam cerpen yang pertama adalah tema. Pengertian tema merupakan sebuah ruh atau nyawa yang ada di dalam karya prosa. Tema bisa disebut ide utama dalam membuat cerita, karena tema adalah penentu latar belakang dari cerita tersebut.
- Tokoh. Tokoh merupakan unsur intrinsik cerita pendek yang sangat penting. Tokoh adalah orang atau karakter yang ditampilkan dalam cerpen. Oleh pembaca, tokoh ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dari tindakan yang diceritakan.
- Penokohan. Istilah penokohan lebih luas dari pada tokoh dan perwatakan. Penokohan dalam unsur intrinsik cerita pendek mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan merupakan penentuan watak atau karakter dari tokoh tersebut. Penokohan ini bisa digambarkan dalam sebuah ucapan, pemikiran dan pandangan saat menyelesaikan suatu masalah.
- Alur. Alur dalam cerpen adalah jalan cerita. Prosa seperti cerpen memiliki alur yang jelas. Alur bisa memiliki tahapan mulai dari perkenalan, penanjakan, klimaks, anti klimaks dan penyelesaian. Alur yang digunakan oleh penulis ada 2 macam, yaitu alur maju yang menggambarkan cerita urut dari perkenalan tokoh, hingga penyelesaian konflik. Sedangkan alur mundur adalah alur cerita yang jalan ceritanya tidak runtu. Penulis bisa menceritakan tentang konflik terlebuh dahulu, kemudian menceritakan tentang awal konflik terjadi, dan pengenalan tokoh.
- Latar. Unsur intrinsik lainnya dalam cerpen adalah latar. Unsur ini mengacu pada latur waktu, suasana, dan tempat terjadinya cerita. Latar ini bisa membuat pembaca cerpen lebih paham tentang kapan, dimana dan sedang apa tokoh yang diceritakan.
- Sudut pandang. Unsur intrinsik yang tak kalah penting adalah sudut pandang. Sudut padandang merupakan arah pandang seorang penulis dalam menyampaikan sebuah cerita. Terdapat sudut pandang sebagai orang pertama, sudut pandang orang kedua, dan sudut pandang orang ketiga. Ada juga sudut pandang dari penulis yang berasal dari sudut pandang orang yang berada di luar cerita.
- Gaya bahasa. Gaya bahasa dalam unsur intrinsik merupakan ciri khas dari penulis saat menuliskan cerita. Gaya bahasa ini bisa dibedakan dari penggunaan majas, diksi dan pemilihan kalimat yang tepat di dalam cerpennya. Ada penulis yang menggunakan bahasa bakuada juga yang menggunakan bahasa santai.
- Amanat. Amanat adalah pesan moral yang ditulis oleh penulis cerita, yang bisa dipetik oleh pembacanya, setelah membaca karya tersebut. Amanat atau pesan moral, biasanya tidak ditulis secara langsung, melainkan tersirat.
Suka baca cerpen? Yuk, lihat beberapa contoh cerpen singkat dan menarik, beserta pengertian dan strukturnya di artikel Bahasa Indonesia kelas 9 berikut ini!
Sejak kecil, kamu pernah membaca cerita-cerita pendek mengenai putri dan pangeran, nggak? Semua cerita itu sangat seru dan membekas di ingatan sebagian besar orang hingga sekarang. Yap, cerita pendek atau cerpen memang seperti memiliki kekuatan sihir yang membuat kita sulit lupa.
Tapi, tahukah kamu apa itu cerpen? Lalu, cerita seperti apa yang dapat kita katakan sebagai cerpen? Nah, supaya nggak bingung, simak pengertian, struktur, beserta contoh cerpen singkat dan menarik berikut ini!
Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Selain itu, cerpen juga hanya memuat satu alur cerita. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, umumnya cerpen merupakan cerita yang habis dibaca sekitar 10 hingga 30 menit. Jumlah katanya sekitar 500–10.000 kata. Maka dari itu, cerpen sering juga disebut sebagai “cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk”.
Biasanya, cerpen mengangkat persoalan kehidupan manusia secara khusus. Tema cerpen berasal dari persoalan keseharian hingga ke renungan yang dipotret dari kehidupan nyata. Namun, tokoh dan latar bisa direkayasa demi kepentingan keindahan cerita sekaligus membedakannya dari teks pengalaman nyata.
Ciri cerpen juga ditandai dengan jumlah karakter yang relatif kecil. Nah, unsur yang ada pada cerpen adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, alur dan plot, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Cerpen juga memiliki memiliki struktur dalam penulisannya.
Baca Juga: Mengupas Cerpen: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Struktur, dan Analisisnya
Dalam artikel ini, kita akan fokus membahas tentang struktur yang dimiliki oleh cerpen. Apa aja sih struktur cerpen? Perhatikan di bawah ini ya.
Sudah tahu belum, di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal yang berisi kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget kan buat mempersiapkan diri kamu dalam menghadapi ujian nanti. Yuk, klik banner di bawah ini untuk coba fitur Drill Soal!
Struktur cerpen terdiri dari orientasi, rangkaian peristiwa, komplikasi, dan resolusi. Nah, untuk penjelasan lebih lengkapnya, ada di bawah ini!
Di bagian ini, kamu akan menemukan pengenalan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh.
2. Rangkaian Peristiwa
Kisah akan berlanjut melalui serangkaian peristiwa satu ke peristiwa lainnya yang tidak terduga.
Kemudian, cerita akan bergerak menuju konflik atau puncak masalah, pertentangan, atau kesulitan-kesulitan bagi para tokohnya yang memengaruhi latar waktu dan karakter
Bagian ini akan menceritakan solusi untuk masalah atau tantangan yang dicapai telah berhasil. Pada bagian ini, kamu juga akan mengetahui bagaimana cara pengarang mengakhiri cerita.
Oke, setelah kita mengulas kembali mengenai pengertian dan struktur cerpen, berikut ini ada beberapa contoh cerpen singkat. Kita baca sama-sama, yuk!